Kisah Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara Yang Pernah Jadi Ajudan Luar Biasa

Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak merupakan putra pertama dari enam bersaudara ayahnya   Sultan Pontianak ke-6 Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Ibunya Syecha Jamilah Syarwan yang masih keturunan arab

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di SukabumiPontianakYogyakarta, dan BandungHBS di Bandung. Pada tahun 1933 ia masuk sekolah militer KMA di Belanda dan lulus tahun 1937. Setelah lulus dia langsung dilantik menjadi Perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Tanggal 31 Mei 1938 Sultan Hamid II menikah dengan Dina Van Delden yang merupakan seorang wanita Belanda. Dari pernikahan ini dia dikaruniai dua orang anak, yakni Edith Denise Corry Alkadri dan Max Nico Alkadri, di kemudian hari Sultan Hamid II menikah lagi dengan seorang putri dari Yogyakarta, Ny. Reni Dalam buku A Prince in A Republic karya John Monfries, ia dijuluki sebagai “A congenial youngman of outstanding conduct”, yang berarti seorang pemuda yang ramah dengan prilaku yang luar biasa.

Dalam karier militernya, ia pernah bertugas di MalangBandungBalikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa.

Ketika Belanda kalah dalam Perang melawan Jepang pada Perang dunia di Batavia, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945 dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Pangkat itu bisa dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu diberikan kepada putera Indonesia. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya yang ditangkap dan terbunuh oleh tentara pendudukan Jepang di Pontianak pada dengan gelar Sultan Hamid II.  Selain sebagai Sultan Pontianak, dia  juga sekaligus menjabat sebagai Kepala Swapraja Pontianak.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949 Sultan Hamid II menjabat sebagai Ketua BFO yang mewakili daerah bagian/satuan kenegaraan (DIKB – Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar) dan negara bagian diluar RI 17 Agustus 1945 dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat.

KMB merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Dalam perundingan itu, tanggal 27 Desember 1949, kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara diakui oleh masyarakat internasional. Perundingan KMB dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Belanda, dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen; BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid II; dan Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta.[11]

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden (“Ajudan dalam Pelayanan Luar Biasa kepada Paduka Ratu Belanda”), yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda. Sebagai perwira pribumi didikan akademi militer Belanda dengan pangkat Kolonel, Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh posisi milter penting dalam tentara penjajahan.

Pada 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat ke dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Presiden Soekarno. Selama menjabat Menteri Negara Zonder Portofoliobeliau menjalankan tugas untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan lambang negara.

Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar DewantoroM. A. PellaupessyMohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika

Pada 26 Januari 1950, elemen dari KNIL atau eks personil tentara belanda terlibat dalam pemberontakan di Jakarta dan Bandung yang direncanakan oleh Raymond Westerling dan juga diduga Sultan Hamid II terlibat, Pemberontakan ini gagal dan hanya mempercepat kehancuran dari Republik Indonesia Serikat. Lewat berbagai keterangan kelompok yang melabeli dirinnya Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA yang telah tertanggap TNI, diketahui Sultan Hamid II menjadi otak penyerangan sidang menteri kabinet di Pejambon pada 24 Januari 1950. Sultan Hamid baru tertanggap pada 5 April 1950 setelah melewati berbagai penyelidikan. Ia ditangkap di Hotel Des Indes tanpa perlawanan.

Kemudian dengan adanya permintaan dari masyarakat Kalimantan Barat untuk bergabung dengan Republik Indonesia pada 22 April 1950, maka pada 15 Agustus 1950 Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan dan dua hari kemudian Republik Indonesia Serikat bubar dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas perbuatan subversif yang diberi label pengkhianat terhadap bangsa dan negara Indonesia, ia diajukan untuk diadili di depan Mahkamah Agung. Hasilnya pada 8 April 1953 ia dijatuhi vonis penjara 10 tahun dipotong masa tahanan selama satu tahun. Pada 1958 ia sudah kembali menghirup udara bebas setelah mendapatkan remisi dan berbagai pengurangan masa hukuman.

Pada tahun 1962 ia kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dituduh oleh rezim Soekarno merencanakan kegiatan makar melalui organisasi Vrijwillige Ondergrondsche Corps tanpa diadili dan baru bebas pada 1966 setelah kejatuhan Orde Lama. Setelah bebas Sultan Hamid II, sultan Pontianak keturunan Arab yang tampan dan memiliki istri berkebangsaan Belanda tersebut menggeluti dunia bisnis hingga wafat pada 1978.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Sumber :

Adlaimi, Fairus, Gaelri Sultan Hamid II. Jurnal Mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura. Volume 7 Nomor 1 Maret 2019

wikipedia.org/wiki/Syarif_Hamid_II_dari_Pontianak

kumpulanstudi-aspirasi.com/sultan-hamid-ii-

Leave a Reply