

Negeri kita Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman, baik dari segi budaya, suku, maupun agama. Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia, toleransi beragama menjadi pilar utama dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Apalagi dengan penduduk beragam yang tinggal di berbagai kota dan kabupeten di berbagai pelosok.
Konsep toleransi tidak hanya berarti menerima keberadaan agama lain, tetapi juga menghargai dan memahami perbedaan tersebut tanpa upaya untuk mendominasi atau mengalahkan pihak lain.
Di negeri yang kadang lebih sibuk ngurus jenggot orang dari memperbaiki jalan berlubang, toleransi adalah kata yang sering dielus, tapi jarang benar-benar dipeluk. Tapi tunggu dulu, jangan menyerah pada dunia yang penuh adu bacot ini. Ada satu kota di pojok Kalimantan Barat yang secara tak terduga tampil sebagai duta besar kedamaian. Bukan, ini bukan Wakanda. Ini Singkawang! Kota tempat naga dan masjid saling senyum, dan Tatung bisa numpang parkir depan rumah ibadah tanpa kena sweeping.
Kenapa Singkawang? Karena Jakarta terlalu sibuk demo. Mari kita mulai dengan fakta. SETARA Institute bilang Singkawang adalah kota paling toleran di Indonesia tiga tahun berturut-turut. Kalau prestasi itu dipegang sama klub sepakbola, pasti udah dicetak banner segede gorong-gorong bertuliskan, “We Are Champion of Tolerance.”
Tapi Singkawang nggak lebay. Mereka lebih memilih membuktikan toleransi bukan dengan orasi, tapi dengan visi, dan sedikit sentuhan magis dari naga, kelenteng, masjid, gereja, dan warung kopi tempat umat beragama bisa debat soal surga sambil ngudud bareng.
Singkawang punya patung naga. Bukan buat ditunggangi Avenger, tapi buat dilindungi oleh Pangdam! Bayangkan, tentara turun tangan demi seekor naga. Di kota lain, tentara sibuk jaga demo. Di Singkawang? Mereka jaga toleransi pakai senyum dan sepatu lars.
Tahun 2010, patung naga nyaris dibongkar oleh sekelompok yang merasa tersinggung. Untung Jenderal Moeldoko hadir dan bilang, “Saya berdiri paling depan jaga naga!” Kalau itu bukan toleransi, saya nggak tahu lagi. Mungkin hanya di Singkawang kita bisa melihat nasionalisme, spiritualitas, dan reptil mitologis bersatu dalam satu tugu.
Coba hitung tempat ibadah di kota ini. Masjid? Ada belasan, dari yang tua banget sampai yang pakai nama futuristik seperti Masjid Nurul Islam. Gereja? Jangan salah. Dari GKKB sampai GBI Sempalit. Bahkan, Yesus pun bisa mengangguk tenang. Kelenteng? Lebih dari 700. Bahkan Dewa pun bingung mau singgah ke mana dulu. Lalu, Pondok Pesantren? Banyak. Mereka bukan tempat intoleransi dipelihara. Mereka tempat kopi diseduh, kitab dibaca, dan pemahaman lintas iman disemai.
Kalau di kota lain gereja dan masjid saling lempar suara adzan dan lonceng, di Singkawang mereka duet akustikan Cap Go Meh dan Maulid Nabi. Para semesta di sini kayaknya udah kongkalikong bikin grup WhatsApp lintas agama, “Ngopi yuk, abis subuh.”
Singkawang terkenal dengan slogan “Cidayu.” Slogan ini terdengar seperti nama sup restoran fusion, tapi jangan tertipu. Cidayu adalah singkatan paling mulia yang pernah tercipta di tanah Borneo. Tiga etnis besar, Cina, Dayak, dan Melayu, bukan cuma hidup berdampingan, mereka saling ngeraktir waktu buka puasa dan saling pinjam tatung buat festival.
Hal menarik dari implementasi Cidayu itu. Untuk masuk Singkawang bisa tiga pintu gerbang. Gerbang selatan bergaya Tionghoa lengkap dengan naga yang dikerangkeng. Gerbang utara bergaya Melayu Sambas lengkap dengan motif songketnya. Gerbang timur bergaya Dayak lengkap dengan rumah betangnya.
Mereka membuktikan bahwa beda kulit, bahasa, keyakinan, ada istiadat, dan etnis bukan alasan buat unfollow teman di dunia nyata.
Singkawang saat ini dipimpin wali kota perempuan etnis Tionghoa. Namanya, Tjhai Chui Mi. Ini periode keduanya. Beliau terpilih lagi pada Pilkada kemarin. Tanda, kepemimpinan beliau masih diinginkan oleh warga seribu kelenteng itu.
Untuk menjadi kota tolerans, RPJMD-nya inklusif. Hukum daerahnya tidak diskriminatif. Kebijakan pembangunannya seperti nasi campur, beragam, bergizi, dan bikin kenyang semua pihak.
Singkawang bukan utopia. Pernah juga ada keributan, perusakan, dan protes. Tapi perbedaannya adalah, mereka belajar. Polisi tanggap. Masyarakat aktif. Pemimpin tidak tutup telinga. Toleransi bukan hal mistik, tapi kerja keras harian.
Toleransi bukan soal “siapa yang benar,” tapi “siapa yang rela hidup berdampingan tanpa harus mengibarkan ego di tiang bendera.”
Kalau direk atau nuan masih takut sama perbedaan, ingatlah, Singkawang nggak takut sama naga, kenapa sampeyan takut sama tetangga beda agama?
Kapan Indonesia bisa jadi Singkawang? Mungkin saat kita berhenti nyinyir dan mulai nyapa. Mungkin saat kita berhenti bertanya, “Dia agama apa?” dan mulai nanya, “Dia lapar atau nggak?” Mungkin, saat kamu sadar, toleransi itu bukan kelemahan, itu seni bertahan hidup sebagai manusia. Jadilah seperti Singkawang. Punya banyak patung, tapi tetap manusiawi.
Konon Singkawang dikenal sebagai asal mula perkampungan Cina di pesisir Kalimantan Barat. Konon “katanya” namaSingkawang diberikan oleh para pendatang dan pelaut Cina. Kala itu diinspirasi saat melihat dua gunung “di mulut lautan” yang terletak di sebuah sungai tepi laut. Singkawang dalam bahasa Cina disebut San Kew Jong. Pesisir pantai Kalimantan Barat ini dinilai sebagai wilayah subur dan terindah diantara tempat-tempat lainnya di Kalimantan Barat. Earl dalam perjalanan pesisir barat pesisir barat Kalimantan Barat yang dimaksud adalah wilayah yang membujur dari utara danselatan berturut-turut dari; Sungai Sebangkau, Sungai Selaku, SungaiSingkawang, Sungai Pajintan, Sungai Sedau—semuanya itu berada di utaraTanjung Batu Belat, atau sekarang dikenal dengan Tanjung Gundul.
Jauh masa sebelum kedatangan Cina, orang-orang Melayu telah menempati wilayah Pantai Utara setelah etnis Dayak yang umumnya mendiami wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Etnis Dayak diperkirakan berasal dari daratan Cina antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini “Sunda”).19 Ketiga etnis ini dalam perkembangannya mengklaim sebagai masyarakat setempat dengan istilah “Cidayu” yaitu: Cina, Dayak dan Melayu yang ditandai dengan dibangunnya Tugu Cidayu di Nanga Taman, Kabupaten Sekadau—meskipun dalam studi ini, terdapat beberapa informan yang berkeberatan atas istilah itu, karena urutan etnis setempat yang menghuni wilayah Kalimantan Barat adalah Dayak, Melayu, Cina
Multikulturalisme di Kota Singkawang akan selalu terjaga manakala setiap unsur masyarakat yang berstruktur di dalamnya itu, sadar sedalam-dalamnya untuk menghindari sikap primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif dan tidak mengembangkan stereotif yang bernada prasangkayang subyektif kemudian melahirkan kebencian satu sama lain. Multikulturalisme harus dipandang sebagai semangat kemanunggalan—tunggal ika—yang paling potensial untuk melahirkan persatuan yang kuat.
Sumber:
Rosadi Jamani/ Laman facebok/Belajar Toleransi Dari Kota Singkawang/30 Juli 2025.facebookrosasijamani
Atmaja, Dwi Surya dan Fachruraazi. A Portrait Of Chinesse Diasporra In Cidayu Are.2019. Pontianak.IAIN Press