
Sejarah asal muasal kedatangan Etnis Tionghoa atau warga keturunan tiongkok atau biasa disebut orang Cina, di Kota Pontianak diduga dimulai saat Sultan-sultan di Kalimantan Barat mendatangkan buruh yang berasal dari China pada abad ke-18 untuk bekerja dalam pertambangan emas atau timah. Sebelum menuju ke daerah pertambangan seperti didaerah mandor, rombongan dari negeri Tiongkok ini singgah transit di Kota Pontianak, sebagian dari rombongan ada yang menetap dan membuka usaha di Kota Pontianak.
Menurut penelitian dari Tim Balai Kajian Sejarah Provinsi Kalimantan Barat disebutkan rombongan etnis China pimpinan Lo Fong Pak dan pengikutnya datang ke Pontianak pada tahun 1772. Sebenarnya hanya persinggahan dalam perjalanan menuju pertambangan emas Mandor, sempat mendirikan permukiman Siantan, transit post, meneruskan perjalanan ke Mandor.
Toponim Siantan berarti Marga Tan di mana dalam bahasa Cina sian berarti marga, sehingga dapat disimpulkan bahwa penamaan Kampung Siantan berdasarkan nama marga Tan ( Sian-Tan) kelompok etnis Cina pertama yang membuka permukiman di kampung tersebut [Karmila dalam Listiana, 2009: 17].
Sampai sekarang di daerah Siantan dapat kita temui pemukiman dan pertokoan yang dihuni oleh etnis keturunan cina yang sudah membaur dengan masyarakat lokal.
Sejak abad ke-3, orang-orang Cina atau Tionghoa telah berlayar ke Malaka dan juga Nusantara untuk berdagang. Rute pelayaran menyusuri wilayah pantai Asia Timur dan kembali ke Cina melewati pulau Kalimantan bagian barat dan Filipina. Rute itu muncul karena pada zaman itu sistem pelayaran yang sangat bergantung pada arah angin. Beberapa tahun kemudian imigran-imigran dari Cina mulai menetap di kawasan yang disebut “Distrik Tionghoa” dan di kota Pontianak. Jumlah imigran-imigran Tionghoa yang cukup besar telah menciptakan sebuah kebudayaan khusus Tionghoa di kota Pontianak dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah Utara kota Pontianak. distrik-distrik Tionghoa di Kalimantan Barat.[1]
Menurut Somers (2008) “orang Tionghoa di Kalimantan Barat merupakan “penyinggah” atau orang-orang yang hanya tinggal untuk sementara, karena Orang Tionghoa di Kalimantan Barat mempertahankan kebudayaan asli Tionghoa mereka”.
Selain itu mereka juga masih menggunakan bahasa Tionghoa secara turun termurun. Hal ini lah yang membuat mereka berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya dalam segi penggunaan bahasa sehari-hari. Dikarenakan kebanyakan etnis Tionghoa yang berada di pulau Jawa atau Sumatera menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah di tempat mereka bermukim untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa.[2]
Sampai sekarang di kota Pontianak dan daerah lainnya di Provinsi Kalimantan Barat para etnis keturunan cina atau Tionghoa mayoritas masih mempertahankan kebudayaan asli para leluhurnya hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa di Pulau Jawa yang sudah menerima akulturasi dari budaya lokal, sehingga bila kita berkunjung ke Kota-Kota Pulau Jawa yang dihuni etnis tionghoa dari segi penggunaan bahasa sehari-hari mereka sudah menggunakan bahasa Jawa berbeda dengan Etnis China di Kota-Kota Pontianak yang masih menggunakan bahasa asli mereka dalam pergaulan sehari –hari.
Awal kedatangan orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang berada di daerah lainnya berbeda. Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia.
Menurut Emmerson (2001) “ Selama berabad-abad mereka telah tinggal di bagian tertentu wilayah ini. Banyak dari mereka telah melakukan perkawinan campur. Keturunan mereka telah berbaur dengan masyarakat pribumi tanpa meninggalkan jejak. Akan tetapi, dimana penduduk Tionghoa berjumlah paling banyak terutama daerah kemana mereka telah pindah dalam jumlah besar sebagai buruh mereka tetap membentuk lingkaran sendiri yang langgeng”.
Hampir semua orang Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.
Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok Teochiu membentuk populasi terbesar etnis
Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang dikutip oleh Somers (2008) , menyatakan bahwa Kota Pontianak pada saat menjadi pusat perdagangan di pantai barat merupakan kota dengan banyak penyedia jasa.
Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab. Kebanyakan para buruh Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak, berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang kepada keluarganya di sana.[3]
Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdagangan juga ada di Kampung Baru (sekarang bernama Siantan). Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran etnis luar Indonesia.
Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah dengan orang-orang Melayu dan Arab, orang Melayu dan Arab cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.
Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses. Orang China di Pontianak memang terkenal berprofesi sebagai pedagang, pekerja lepas ataupun karyawan di perusahaan swasta ,jarang yang terlibat dalam kegiatan politik dan pemerintahan terutama karena pengekangan kebebasan politik mereka pada masa orde baru pada periode tahun 1966 sampai dengan 1998.
Setelah reformasi tahun 1998 dan runtuhnya pemerintahan Orde baru, mulailah banyak orang keturunan China yang ikut dalam politik praktis termasuk menjadi birokrat di eksekutif dan legislatif. Ketua DPRD Kota Pontianak pun pernah dijabat oleh etnis keturunan China pada periode 2009 -2014 yakni Hartono Azas, SE, MM. Di eksekutif etnis keturunan Cina yang pernah menjabat yakni Christiandy Sandaya,SE, MM atau Bong Hong San yang menjabat Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Barat periode 2008-2018.
[1] Sejarah Lengkap Kaum Tionghoa Masuk ke Kalimantan Barat http://infopontianak.org/sejarah-lengkap-kaum-tionghoa-masuk-ke-kalimantan-barat/
[2] Mary Somers Heidhues. Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta : Yayasan Nabil. 2008. hlm:xvi.
[3] Ibid…hlm:61.