
Keraton Kadariah adalah istana tempat tinggal para Sultan Pontianak yang dibangun dari tahun 1771 sampai 1778 masehi. Sayyid Syarif Abdurrahman Al-Qadrie adalah sultan pertama yang mendiami istana tersebut. Keraton ini berada di dekat pusat kota tepatnya di Jalan Tanjung Raya II Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Sebagai cikal-bakal lahirnya Kota Pontianak, Keraton Qadriah atau biasa ditulis Kadariah dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu objek wisata sejarah.
Istana kediaman Sultan Pontianak atau dikenal dengan Keraton Kadariah saat ini merupakan objek wisata sejarah yang menyimpan beberapa barang peninggalan kesultanan pontianak. Dalam catatan sejarah Kesultanan Pontianak pernah dipimpin oleh 9 orang Sultan sebagai berikut :
1.Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie periode 1 September 1778 – 28 Februari 1808
2. Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie periode 28 Februari 1808 – 25 Februari 18 19
3. Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie periode 25 Februari 1819 – 12 April 1855
4. Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie periode 12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie periode 22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie periode 15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
interegnum 24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7. Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie) periode 29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
- Interregnum 30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8. Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie periode 15 Januari 2004 – 31 Maret 2017
9. Sultan Syarif Mahmud Alkadrie bin Syarif Abubakar periode 15 Juli 2017 s/d sekarang.
Kesultanan Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada 23 Oktober 1771 (12 Rajab 1185 H) oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Monarki kesultanan melayu ini merupakan monarki termuda kedua di Kepulauan Nusantara yang sekarang menjadi Republik Indonesia.
Pada tahun 1808 Sultan Syarif Abdurrahman pendiri Kesultanan Pontianak wafat, dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, putra sulungnya Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya.
Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, dan digantikan oleh adiknya, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855). Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855.
Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860. Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), dinobatkan sebagai Sultan pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai Sultan beberapa bulan setelah ayahnya wafat.
Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895.
Berdasarkan periode kesultanannya, Sultan terlama yang memerintah Kesultanan Pontianak adalah Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie yakni berkuasa selama 36 tahun. Sultan ketiga Kesultanan Pontianak ini merupakan putra Sultan Pertama Syarif Abdurrahman Alkadrie, pada masa Sultan ketiga inilah dilanjutan pembangunan Mesjid Jami yang awalnya dibangun ayahnya tahun 1778 Masehi dan selesai di masa pemerintahannya pada tahun1821 Masehi.
Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi.
Sultan Syarif Usman juga mendorong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak.
Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Jejak pembangunan pada masa kesultanan Pontianak tidak banyak terekam dalam catatan literatur sejarah, hal ini mungkin disebabkan kekuasaan Sultan Pontianak yang terbatas pada zaman kolonial Belanda, dimana hak-hak pengelolaan administrasi pemerintahan, perdagangan dan jasa, pembangunan ekonomi dikuasai Belanda, sehingga Kesultanan Pontianak dapat dianggap hanya sebagai simbol adat dan tokoh masyarakat lokal yang ada di Kota Pontianak.
Dalam catatan sejarah sejak Sultan Pertama telah terikat dan tunduk pada perjanjian dengan Kolonial Belanda mengenai pembagian wilayah dan bagi hasil perdagangan hasil bumi. Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.[1]
Di masa Sultan Syarif Abdurrahman, Kerajaan Pontianak telah menjalin hubungan dengan pemerintah VOC. Hal ini terbukti dengan dinobatkannya Syarif Abdurahman sebagai Sultan oleh Residen Rembang Willem Adrian Palm (Nurcahyani, 1999). Akan tetapi, Raja Pontianak tidak dibiarkan menguasai daerah Sesenggih sebagai daerah kekuasaan sepenuhnya, VOC memberikan hak sewa tanah pada Kerajaan Pontianak.
Kesultanan Pontianak diposisikan sebagai penyewa tanah. VOC memanfaatkan kembali keadaan tersebut dengan menambah persyaratan sebagai pemberi sewa tanah pada Sultan Pontianak. Persyaratan tersebut tidak hanya berhubungan dengan hukum perdata di Sesenggih, tetapi juga dengan aspek lain, seperti pemerintahan dan ekonomi. (Kusumadewi,2013).
Di tengah gejolak revolusi kemerdekaan RI, Syarif Hamid Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II Alkadrie.
Sebagai satu-satunya monarki yg tersisa di Kalimantan Barat saat itu, Sultan Hamid II berinisiatif menghimpun keluarga kerajaan-kerajaan yg ada di Kalimantan Barat untuk mengeluarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja, yakni:
1. Swapraja Sambas,
2. Swapraja Pontianak,
3. Swapraja Mempawah,
4. Swapraja Landak,
5. Swapraja Kubu,
6. Swapraja Matan,
7. Swapraja Sukadana,
8. Swapraja Simpang,
9. Swapraja Sanggau,
10. Swapraja Sekadau,
11. Swapraja Tayan, dan
12. Swapraja Sintang
dan 3 Neo- Swapraja, yaitu:
1. Neo Swapraja Meliau,
2. Neo Swapraja Nanga Pinoh,
3. Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stablad Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri beserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat”.
Sumber :
Eki Kesumadewi (2013) Surat Kontrak Kalimantan 5 juli 1779 : suntingan Teks disertai Analisis Struktur dan Aspek Sejarah,Fakultas Ilmu Kebudayaan, Universitas Indonesia.
Rahmat Gunawijaya (2017). Geliat Pembangunan Ekonomi Pontianak Dari Waterfront City Menuju Smart City. IAIN Press. Pontianak