
Di suatu sudut Indonesia, tepatnya di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, ada sesuatu yang lebih menyeramkan daripada film horor teranyar. Bukan, bukan pocong atau kuntilanak. Yang bakal menghantui Pilkada 27 November 2024 nanti adalah… *kotak kosong.* Iya, barang tanpa nyawa, tanpa akal, tanpa duit, tanpa kredibilitas maupun akuntabilitas, apalagi isi tas, siap menantang manusia.
Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Melawi, H. Dadi Sunarya Usfa Yursa dan Malin (yang akronimnya lucu: DAMAI), sudah pasti akan melawan kotak kosong dalam pertempuran politik yang bisa jadi bakal lebih seru daripada pertandingan Piala Dunia.
Kepastian ini datang setelah pasangan DAMAI mendapat rekomendasi dari DPP Golkar. Dengan dukungan Golkar, pasangan yang juga petahana ini sudah mengantongi mayoritas dukungan parpol, siap melaju dalam Pilkada Melawi. Mereka tidak main-main. Pasangan DAMAI sudah disokong oleh koalisi 6 partai politik besar yang punya 25 kursi dari total 30 kursi di DPRD Melawi, hasil pemilu 14 Februari 2024 lalu. Ini seperti Barcelona yang sudah pasti menang lawan tim divisi bawah. Hanya saja kali ini Barcelona-nya adalah DAMAI, dan lawannya adalah… yeah, kotak kosong.
PAN dengan 11 kursi, PDIP 5 kursi, Golkar 4 kursi, PKB 1 kursi, PPP 2 kursi, dan PKS 2 kursi semuanya sepakat mendukung pasangan ini. Mereka sudah siap menggapai kemenangan. Satu-satunya penghalang mereka: kotak kosong yang sunyi senyap.
Bahkan, ada kemungkinan partai non-parlemen juga bakal ikut mendukung. Sepertinya, kotak kosong bakal butuh lebih dari sekadar keberuntungan untuk bisa menang. Dengan dukungan parpol sebanyak itu, kotak kosong mungkin perlu berguru pada dukun beranak agar bisa menandingi pasangan DAMAI.
Fenomena kotak kosong ini memang mengingatkan kita pada debat nasab yang tak kunjung berkesudahan. Bayangkan saja, sesama manusia saja bisa debat habis-habisan, apalagi kalau lawannya kotak kosong. Kita lihat saja, mungkin nanti akan ada yang bilang kotak kosong lebih punya nasab jelas daripada lawan politiknya. Debat nasab memang sudah mendarah daging di kalangan kita, bahkan lebih pelik daripada naskah sinetron.
Bicara soal debat, ingat Razman Nasution? Sosok yang tak pernah mundur, maju terus pantang mundur, meski lawannya sekelas netizen galak. Mau benar atau salah, Razman terus melaju dengan satu tujuan: masuk televisi! Jadi, kalau ada kotak kosong yang mau bertanding melawan manusia, mungkin bisa belajar dari Razman. Maju terus, pantang mundur, yang penting tetap eksis di layar kaca.
Jangan lupa saksikan Pilkada Melawi nanti. Siapa tahu, kita bisa melihat kotak kosong melawan pasangan yang benar-benar ‘DAMAI’. Ini bakal jadi pertempuran epik antara manusia dan kotak, dan yang pasti, kotak kosong itu perlu lebih dari sekadar keberuntungan untuk menang. Karena, kalau sesama manusia bisa debat sampai kiamat, kotak kosong pun bisa jadi bintang televisi selanjutnya!
Dalam sejarah pelaksanaan Pilkada Lembaga pemantau pemilu menyebut tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun. Pada pilkada serentak 2015, ada tiga daerah yang memiliki satu pasangan calon. Jumlah itu kemudian meningkat pada pilkada serentak 2017, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan pasangan. Dan pada pilkada serentak 2018, jumlah calon tunggal meningkat menjadi 12 daerah. Dan untuk daerah Kalimantan Barat beberapa Pilkada seperti pemilihan calon Bupati di Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau , Kabupaten Landak dan Kabupaten Kapuas Hulu bisa nyaris pilkada antara petahana atau incumbent melawan kotak kosong jika sampai pendaftaran calon kepala daerah tersebut pada September 2024 tidak ada pesaing yang mendaftar.
Muncul kekhawatiran, demokratisasi yang diharapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bakal semakin terkikis oleh politik pragmatis. Lalu, apa sesungguhnya yang menyebabkan tren calon tunggal terus meningkat dalam pemilihan kepala daerah?
Sedikitnya ada tiga hal:
- Pertama, karena kedua belah pihak saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, agar tetap berkuasa dengan cara ‘memborong partai’. Sementara itu, partai-partai berkepentingan untuk menang dengan cara mendompleng petahana.
- Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi, serta terjadi krisis kepemimpinan. Alih-alih menjadi bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Atau kalau dalam ungkapan sarkastis, partai politik lebih memilih meng-outsourching kader dari luar ketimbang melahirkan kader dari dalam dengan sistem merit.
- Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan (independen). Ujung-ujungnya bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar. Sehingga, bisa dikatakan, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan modal besar. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala daerah, tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.
Lantas, menyoroti kian maraknya fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, apa yang bisa kita lakukan, kalau parpol belum mampu menunaikan tugasnya menjadi institusi sosial―yang menyiapkan para calon pemimpin? Adakah jalan perbaikan, ditingkat Undang-Undang, mengingat para legislator yang membuat undang-undang―adalah parpol itu sendiri? Lalu, haruskah kita tetap memberikan “cek kosong” kepada para politisi, padahal di tangannya lah hampir semua hajat hidup rakyat ditentukan? Adakah jalan keluar dari lingkaran yang tak berujung ini?
Sumber :
- Artikel Facebook 21 Juli 2024. Rosadi Jamani Dosen UNU Kalimantan Barat/ Ketua Satupena Kalbar 2024
- www.radioidola.com/2020/mengapa-tren-calon-tunggal-lawan-kotak-kosong-terus-meningkat-dalam-pemilihan-kepala-daerah