
Kenapa Saya Suka Minum Kopi?
Banyak tulisan saya lahir saat sedang ngopi. Itu sebabnya saya suka minum kopi. Termasuk tulisan ini dibuat saat sedang ngopi di Kafe Cinta Jalan Wahidin Pontianak. Kenapa? Karena kopi tidak pernah menghakimi. Kopi tidak bertanya kenapa hidup Anda seperti K-drama tanpa happy ending. Kopi hanya ada di sana. Diam. Hitam. Pahit. Seperti mantan yang enggan diajak bicara.
Bayangkan dunia tanpa kopi. Dunia jadi sunyi. Pikiran beku. Kata-kata tidak mau keluar dari sarangnya. Setiap orang mendadak bodoh, seperti ponsel tanpa sinyal. Makanya saya bilang, kopi itu seperti HP. Tak bisa pisah. Bedanya, HP bikin stres. Kopi? Bikin hidup terasa masuk akal.
Saya biasa ngopi di warkop. Atau kafe. Kadang di pinggir sungai, ditemani bebek-bebek yang tampak lebih bahagia dari saya. Di teras rumah pun jadi. Yang penting ada kopi. Kopi itu rumah kedua. Tempat pulang, setelah realitas menghajar tanpa ampun.
Tapi tunggu. Kopi saya bukan kopi manja. Tidak ada gula pasir. Tidak ada susu. Tidak ada es. Saya tidak butuh semua itu. Hidup ini sudah cukup manis, meskipun kadang seperti permen karet yang sudah tidak ada rasanya. Kopi saya pahit. Gelap. Jujur. Seperti kebenaran yang tidak mau didengar.
Banyak yang bilang kopi hitam itu ekstrem. Serius? Anda pikir hidup ini tidak ekstrem? Anda pikir bangun pagi untuk kerja demi gaji yang hilang sebelum tanggal tua itu santai? Percayalah, dibandingkan hidup, kopi hitam itu adalah pelukan hangat di pagi hari.
Mereka bilang kopi tidak sehat. Katanya bikin jantung deg-degan. Padahal, apa yang lebih menyehatkan dari kejujuran? Kopi hitam tanpa gula adalah pengingat bahwa tidak semua yang pahit harus dihindari.
Kenapa saya suka minum kopi? Karena kopi adalah filosofi. Secangkir kecil kebijaksanaan dalam bentuk cair. Kopi tidak menyelesaikan masalah. Tapi, setidaknya, kopi membuat kita merasa cukup kuat untuk pura-pura tegar menghadapi hidup.
Coba minum kopi. Pahitnya akan mengajarkan Anda satu hal, kebahagiaan tidak datang dari gula. Itu datang dari keberanian untuk menghadapi rasa apa adanya. Sungguh, kalau hidup adalah warkop besar, kopi hitam adalah cangkir keberanian. Dan terkait kopi ada kisah tentang dua sahabat yang biasa nongkrong di warung kopi di pagi hari saat jam kantor , mulai saat mereka sama sama masih jadi aparatur sipil negara sampai mereka dah jadi pensiunan, begini ceritanya.
Seperti biasa dua sahabat pensiunan kantor pemerintah, Wak Dalek dan Wan Dolah kembali duduk ngopi. Kali ini di Warkop Wak Leman Jalan Haruna Pontianak. Keduanya baru bersua setelah libur tiga hari di Pantai Pasir Panjang Singkawang.
Di pojok Warkop, asap kopi bercampur aroma gorengan membumbung santai, seolah mengajak semua masalah negara istirahat sebentar. Wak Dalek duduk dengan wajah semrawut, lebih mirip kertas kerja yang gagal difotokopi. Wan Dolah di sebelahnya mengaduk kopi sambil menatap kosong ke arah sepiring pisang goreng yang sudah dihinggapi lalat, tapi tetap saja ia santap dengan penuh filosofi.
“Jadi, Wan,” ujar Wak Dalek membuka percakapan, “kau dengar kabar soal PPN 12 persen itu?”
Wan Dolah tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi lebih karena kesal. “Kau ini Wak, bagaimana aku tak dengar? Bahkan angin pun berbisik soal pajak itu! Habis ini apa lagi? Udara yang kita hirup juga akan kena pajak, mungkin dinamakan PPN-U (Pajak Pernapasan Nasional-Utama).”
“Ah, kau ini suka nak merampot, Wan,” sela Wak Dalek sambil menyeruput kopinya. “Tapi memang ya, PPN 12 persen ini seperti lelucon paling tidak lucu yang pernah dibuat pemerintah. Kau tahu, jangankan rakyat, aku yang sudah pensiun saja ingin keluar dari grup WhatsApp negara ini!”
“Jangan salahkan pemerintah, Wak,” Wan Dolah mengangkat jarinya seperti dosen yang baru dapat inspirasi. “Mereka itu sudah terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya bikin hidup kita lebih sulit. Kreatif sekali mereka ini. Kadang aku pikir, kalau kreativitas mereka dipakai bikin film, mungkin bisa menang Oscar.”
“Film apa?” tanya Wak Dalek sambil memicingkan mata.
“Judulnya ‘Negara Tanpa Empati’,” jawab Wan Dolah datar.
Tawa Wak Dalek meledak seperti ketel uap. “Kau memang jenius dalam hal rampot-merampot, Wan. Tapi ya, lihat saja para mahasiswa itu, mereka demo di mana-mana. Ada yang di Patung Kuda Jakarta, ada yang di Yogya, bahkan aku dengar ada yang mau demo di depan kandang sapi. Katanya, kalau sapi saja bebas pajak, kenapa kami tidak?”
Wan Dolah mengangguk setuju. “Benar, mahasiswa itu ibarat garam dalam sayur. Mereka pedas, tapi tanpa mereka, semuanya hambar. Masalahnya, Wak, pemerintah ini punya teknologi anti-garam. Demo seramai apapun, mereka tetap santai, seolah-olah sedang piknik di pantai. Kau tahu, Presiden kita itu seperti pengantin baru. Selalu tersenyum, tak peduli rumah di belakangnya hampir roboh.”
Wak Dalek mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya di kursi plastik yang mulai berderit. “Kau benar, Wan. Dia bisa saja membatalkan PPN ini lewat Perppu. Tapi sepertinya dia lebih suka menonton dari tribun, seperti penonton yang sabar menunggu babak final sinetron.”
Wan Dolah menyeruput kopinya, lalu menatap Wak Dalek dengan pandangan serius yang jarang terlihat. “Wak, aku rasa masalah negara kita ini bukan pajak, bukan juga presiden, tapi lebih kepada sistem yang sudah seperti kebun binatang. Yang berbicara adalah burung beo, yang berlari adalah kuda nil, dan yang mengatur semuanya adalah monyet di atas pohon. Apa kau paham maksudku?”
“Paham, Wan,” jawab Wak Dalek sambil tersenyum pahit. “Kita ini rakyat kecil cuma bisa jadi penonton. Kalau kita protes, mereka bilang, ‘Tenang saja, semua ini untuk kebaikan bangsa.’ Padahal bangsa yang mana, kita juga tak tahu.”
Keduanya terdiam, membiarkan suara televisi tua di sudut warkop menggema. Di layar, seorang pejabat berdasi sedang berpidato dengan penuh semangat, mengatakan bahwa PPN 12 persen adalah langkah strategis untuk memajukan ekonomi bangsa.
“Strategis kepala hotakmu,” gumam Wan Dolah sambil menyelipkan uang lima ribu untuk membayar kopi pancong.
Wak Dalek hanya terkekeh, lalu keduanya berjalan keluar warkop, meninggalkan kopi, pisang goreng, dan setumpuk ironi yang terlalu berat untuk dicerna pagi itu.
“Eh, tunggu lok. Tadi kau bilang merampot. Kemane perginya tokoh kite yang suke bilang merampot ye?”
“Tak tahulah, mungkin lagi jantok durian di Jemongko sana,”
sumber :
Rosadi Jamani. Ketua Satupena Kalbar.Catatan Halaman Facebook 2024