Sejarah Misionaris Di Kalimantan Barat

Misionaris adalah seorang pendakwah atau penyebar agama Kristen. Berdasarkan sejarahnya, Misionaris pertama kali datang ke Nusantara melalui gereja Assiria (Gereja Timur) yakni berdiri di dua tempat yaitu Pancur, sekarang wilayah dari Deli Serdang dan Barus, sekarang wilayah dari Tapanuli Tengah di Sumatra pada periode 645 M.

Berkenaan dengan sejarah Misionaris di Kalimantan Barat, menurut data-data arsip Ordo Fransiskan mencatat bahwa pada tahun 1313 Kalimantan dikunjiungi oleh Odorico de Pordone.

Ia singgah dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan mampir ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit.

Selama abad 16 banyak misionaris mengunjungi Indonesia, ketika akhirnya datang lagi beberapa imam dari Kongregasi Theatin ke Kalimantan.

Berdasarkan laporan perdana Baldlchi Perugia kepada kerajaan di Roma, dalam publikasi Gazeta Domes pada bulan April dan Mei 1602 tentang Kerajaan Kapuas, tahun 1602 telah masuk misionaris ke Kalimantan.

Meskipun mengalami kegagalan karena mendapat penolakan dari penguasa dan masyarakat setempat yang senang memotong kepala orang asing.

Memotong kepala ini di perintahkan oleh Raja Kapuas bernama Raja Bariang Langit, yaitu anaknya Raja Radyan Daputra Yatra yang menolak masuknya agama baru.

Kemudian pada tahun 1640, misionaris telah sampai di Pontianak, setelah mengetahui Pontianak telah menjadi tempat perdagangan yang maju. Terlebih ketika tahu telah berdirinya sekolah orang Tiong Hoa disana. Inilah sejarah permulaan masuknya Misionaris di Kalimantan Barat.

Tahun 1847 Mgr. Vrancken mengadakan kontak pertama dengan Ordo Yesuit untuk membicarakan tentang Kalimantan. Pada masa itu Kalimanatan merupakan bagian dari provinsi Ordo Yesuit. Dalam tahun yang sama Vikaris berunding dengan G.G. Rochussen.

Kemudian dia berbicara dengan Residen Willer dari Sambas dan Residen Pontianak dengan hasil keputusan bahwa: G.G. Rochussen tidak keberatan misi mulai bekerja di Kalimantan Barat. Namun ia meminta di daerah di mana belum ada pendeta.

Menurut artikel 171 yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda melarang adanya misi ganda di suatu wilayah. Pada masa itu wilayah Borneo Selatan (Kalimantan Selatan dan Tengah saat ini) sudah dimasuki misi Protestan.

Dalam tahun 1851-1853 pastor Sanders beberapa kali melakukan survey hingga jauh di Kalimantan Barat dan Timur, untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pembukaan misi.

Tahun 1862 Pastor van Grinten berkeliling di pelbagai daerah orang Dayak di Kalimantan Barat. Laporan mereka optimis jika Kalimantan akan menjadi daerah pekabaran Injil yang berkembang, tetapi bertahun-tahun lamanya tidak ada berita lagi.

Hal ini dikarenakan kekurangan tenaga dan waktu itu di Kalimantan Barat kurang aman. Sering terjadi pertentangan hingga pertumpahan darah antara pemerintah dengan kongsi-kongsi yang berkuasa di sana. Hingga umat Katolik Kalimantan Barat dikunjungi oleh para misionaris dari Jakarta.

Pater de Vries dalam tahun 1865 bertemu di Singkawang dengan seorang Tionghoa yang sudah dibaptis dan yang sudah mendapat lima orang katekumen. Dalam tahun-tahun berikutnya tidak ada berita lagi.

Dalam tahun 1872 pastor Timmermans mengunjungi Kalimantan Barat disertai oleh Petrus Chang, seorang katekis dari Tiongkok dan akan bekerja di Bangka.

Antara 7 Mei dan 12 Juli 1874 Pater de Vries mengunjungi Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Singkawang dan Monterado.

Di Singkawang ada umat Katolik Tionghoa berjumlah 51 orang yang sudah dibaptis, ada yang menjadi Katolik di Singkawang, ada yang datang dari Bangka atau Malaya.

Di Pontianak masih terdapat enam orang Tionghoa yang Katolik, dan beberapa di Monterado. Di tiga kota ini Pater de Vries telah mengangkat seorang sensang atau katekis. Namun sensang di Pontianak ternyata mencandu, lalu dipecat.

Di Singkawang seorang wanita Tionghoa menyumbangkan sebidang tanah dengan 700 pohon kelapa. Sebuah gereja dibangun di sana, dengan sebuah kamar untuk pastor. Koster penjaga mendapat hasil dari pohon-pohon kelapa itu sebagai gajinya.

Karena umat Katolik sedikit demi sedikit bertambah, Pater de Vries dan Pater Staal SJ yakin bahwa harus ditempatkan seorang pastor tetap.

Dalam tahun 1880 sudah ada umat Katolik 110 orang, yang hampir semuanya diam di Singkawang.

Tahun 1884 beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat, tetapi ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1885 G.G. van Rees mengizinkan didirikan stasi Singkawang yang meliputi Kalimantan Barat dengan 150 orang Katolik Tionghoa dan pulau Belitung 100 orang Tionghoa Katolik.

Di samping itu terdapat 100 hingga 200 orang Belanda sipil, dan sejumlah tentara yang bertugas secara temporer. Pater Staal SJ sebagai pastor Paroki yang pertama.

Maksud utama misi Singkawang ialah mendirikan basis bagi karya misi di antara orang-orang Dayak. Beberapa kali pastor Staal mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi.

Nasihatnya adalah supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di Kampung Sebalau, daerah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang sehingga pastor Sebalau dan pastor Singkawang bisa selalu mengadakan kontak.

Berikutnya Residen Gijsbers dari Pontianak menganjurkan agar Pater Staal juga mengunjungi daerah lain. Ia kemudian berlayar lima hari memudiki sungai Kapuas sampai Semitau, pusat orang-orang Dayak dari suku Rambai, Sebruang, dan Kantuk.

Walaupun orang-orang Daya di sana baik, namun karena jumlah mereka sekitar 1500 jiwa saja, dan perjalanan sulit sekali maka Pater Staal tetap di Sebalau.

Karena belum ada misionaris, misi Dayak diundur-undurkan. Sampai tahun 1888-1889 ketika ada kabar bahwa salah satu Zending Protestan mungkin akan bekerja di sana, setelah itu tentu daerah itu tertutup bagi Misi Katolik.

Karena sudah dijanjikan tambahan tenaga dari negeri Belanda, Mgr. Claessens mohon izin untuk membuka dua pos baru, yaitu di Bengkayang dan di Nanga Badan, dekat perbatasan Sarawak Inggris, tempat menjabat seorang Kontrolir.

G.G. Pijnacker Hordijk tidak keberatan, namun menganjurkan supaya Semitau dipilih karena lebih gampang dicapai, apalagi pos Kontrolir Nanga Badan juga dipindahkan ke sana.

Akhirnya Bengkayang tidak dipilih, karena terletak di daerah kuasa Sultan Sambas dimana para pejabatnya semua beragama Islam dan tidak ada jaminan mereka tidak akan menghalang karya misi di antara orang-orang Dayak yang masih memeluk agama beradat Tiwah.

Yang terpilih untuk misi baru itu ialah Pater H. Looymans, pastor di Padang (Sumatera Barat). Tanggal 29 Juli 1890 tiba di Kalimantan.

Belum lama ia di Semitau, karena  baginya Semitau bukan tempat yang ideal. Daerah ini merupakan pusat perdagangan bagi daerah di sekitarnya, tetapi penduduknya hanya terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Melayu.

Selain itu kontak lebih mendalam dengan orang-orang Dayak hampir tidak mungkin, karena itu ia pindah ke Sejiram, di tepi sungai Sebruang.

Daerah ini cukup banyak penduduknya dan menerima Pastor dengan ramah tamah. Pada puncak bukit dibangun rumah sederhana. Dengan itu mulailah stasi kedua di Sejiram.

Sementara itu perkembangan Gereja Katolik di luar Kalimantan semakin meningkat, khususnya di Jawa dan Flores, sehingga sangat memerlukan tenaga.

Karena tidak ada tenaga baru, maka dua pastor yang berada di Sejiram dan Singkawang di tarik kembali. Ini terjadi pada tahun 1897.

Tahun-tahun selanjutnya Singkawang masih dikunjungi oleh seorang pastor dari Bangka dua kali setahun, sedangkan Sejiram tidak mendapat kunjungan sama sekali.

Pada 11 Februari 1905 wilayah misi Kalimantan ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan yang berpusat di Pontianak.

Setelah terjadi penyerahan wilayah pelayanan Borneo dari Ordo Yesuit kepada Ordo Kapusin (OFM. Cap), pada tahun 1905 terjadi titik balik perkembangan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.

Misi Gereja Katolik di Kalimantan pertama dimulai dari daerah Singkawang, terdapat beberapa umat yang di permandikan oleh Pastor J. de Vries. Sesudah beberapa kali diadakan perjalanan turney untuk menyelidiki situasi dan mengunjungi orang Katolik di Kalimantan Barat. Pada tahun 1884 pemerintah Hindia Belanda mengutus Pastor Staaldari Jakarta melakukan kunjungan ke Sambas, Mempawah, dan Sintang. Stasi Singkawang kemudian didirikan tahun 1885 dengan Pater Staal SJ . Pada tanggal 11 Febuari 1905 Kalimantan Barat ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan Barat yang berpusat di Pontianak dipimpin oleh Pasifikus Bos OFM.Cap. Setelah pewartaan Injil oleh Orde Yesuit muncul karya misi yang digantikan oleh Ordo Kapusin (OFM. Cap)pada tahun 1905 terjadi perkembangan menuju arah yang lebih baik dari tahun sebelumnya di Kalimantan Barat.Pada tahun ini diutuslah enam misonaris dari Ordo Kapusin yakni Pascificus Bos, Eugenius van Disseldrop, Beatus Baijens, Camillus Buil, Wilhelmus Verhulst, dan Theodoricus van Lanen. Enam misionaris ini tiba di Singkawang 30 November 1905 (Surya, 2014:2).

Gereja Katolik Kristus Raja Sambas mulai berdiri pada tahun 1913. Sebelum tahun 1913 sudah terdapat beberapa orang beragama Katolik yang menetap dan berkeluarga. Karena pada tahun 1874 misionaris Pater de Vries telah melakukan pelayanan ke daerah Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Singkawang dan Monterado, dan kunjungan juga oleh Pastor Beatus dari Singkawang pada tahun 1906-1908 hal ini mempengaruhi sudah terdapat di Sambas orang-orang yang beragama Katolik. Saat itu kota Sambas belum memiliki Stasi. Kedatangan misionaris secara berkala untuk mengunjungi beberapa keluarga Tionghoa.

Pada 23-25 Oktober 1909 dalam rapat Definitorium Ordo Kapusin dirundingkan upaya untuk mendirikan Stasi di Sambas. Hasil rapat tersebut belum sepenuhnya ditanggapi, karena terbatasnya tenaga misionaris yang bisa diutus ke wilayah Sambas. Awal Desember tahun 1913 Pastor Fidelis A. Tonus menyatakan kesiapannya untuk bertugas di Sambas. Oleh sebab itu, maka pada 1913 Paroki Sambas dinayatakan berdiri sebagai Stasi dan Pastor Fidelis juga merupakan Pastor Paroki pertama di Sambas. Umat Katolik di Kota Sambasterus berkembang sampai ke pelosok daerah, bahkan sampai pelosok perbatasan Indonesia Malaysia.

Hal ini memerlukan pengorbanan dan semangat melayani dari para iman dan katekis sehingga umat Katolik di Sambas mampu berperan aktif dalam kegiatan menggereja.

Kabupaten  Sambas salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat dengan penduduk bersifat heterogen, Sebagian besar penduduk Sambas adalah orang-orang Melayu yang tinggal di wilayah kota dan berbaur dengan para pendatang lain seperti Tionghoa, Banjar, Jawa, Batak, dan Minangkabau.

Sementara orang-orang Dayak kebanyakan tinggal di daerah pedalaman dan sedikit yang menetap di Kota Sambas. Mario (2016:6) mengatakan, Di Kota Sambas kebanyakaan memeluk agama Islam yang berada di sekitar kerajaan namun ada juga yang tidak masuk agama Islam dengan melakukan perpindahan ke daerah pedalaman khususnya suku Dayak, hal ini umat Katolik di Sambas Sebagian besar adalah orang yang bersuku Dayak dan Tionghoa.

Pada tahun 1980 dengan hadirnya salah satu Pastor Silvinus Notor asli pribumi melakukan pelayanan ke daerah pedalaman Sambas. Tahun 1980 juga bisa dibilang kemajuan perkembangan dengan adanya tenaga misionaris asli pribumi serta 75 tahun berkarya ordo Kapusin di Kalimantan Barat karya sudah lebih dari setengah abad pasti banyak melakukan andil besar dalam perkembangan gereja di wilayah keuskupan Pontianak atau di Paroki Sambas. Perkembangan umat Katolik di Sambas dari waktu ke waktu semakin bertambah Karena terdapat guru-guru baru yang untuk berkarya diwilayah Sambas.

Pada tahun 1990 dengan berdirinya sekolahan Pendidikan jenjang SMA, SMA dibawah  naungan yayasan AMKUR (Amal dan Kurban) turut serta membangun perkembangan   umat pada tahun 2000 sampai dengan sekarang dalam bidang pendidikan. Dari tahun 1980- 2010 Paroki Sambas sudah dibantu oleh Kongregrasi Fransiskanes Sambas (KFS) dalam bidang pendidikan dan kesehatan, peran biarawati KFS juga merupakan penopang awal gereja atas bantuan biarawati KFS tersebut berhasil mendirikan sekolah-sekolah swasta Katolik dan Rumah Sakit Santa Elizabeth di Kota Sambas.

Sumber;

 TOmi.2024. Sejarah Missionaris Di Kalimantan Barat. Pontianak. Tom Book Publishing

https://www.majalahduta.com/2022/10/part-1-kapusin-melayani-dan-menjadi-saudara-untuk-semua-umat.

Dennis Fofid, Yohanes Bahari, Haris Firmansyah. Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Kristus Raja Di Kota Sambas Tahun 1980-2010. Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Untan Pontianak

Leave a Reply