Tragedi Mandor Berdarah Yang Kini Diperingati Jadi Hari Berkabung Daerah

gambar peristiwa mandor replika gambar perista mandor sumber suara kalbar

Di Provinsi Kalimantan Barat pada setiap tanggal 28 Juni diperingati sebagai Hari Berkabung Daerah dimana peringatan tersebut dalam rangka memperingati peristiwa tragedi pembantaian para tokoh pemuda ,para sultan, pemuka masyarakat dan kaum cerdik pandai yang dibantai oleh Pasukan Pendudukan Jepang pada tanggal 28 Juni 1944.

Peristiwa tersebut berawal dari desas desus kecurigaan Tokkeitai (Polisi rahasia kaigun) bala tentara Jepang akan adanya usaha persekongkolan melawan pemerintah pendudukan tentara jepang di Kalimantan Barat

Pada April 1942 Sultan Pontianak Syarif Muhammad Al Kadrie, mengundang seluruh Kepala Swaparja yang ada di Kalimantan Barat untuk berkumpul di Istana Kadriyah untuk membicarakan kondisi rakyat pada masa itu yang menderita atas kekejaman jepang karena adanya kebijakan kerja paksa dan perampasan harta benda rakyat untuk kepentingan militer Jepang.

Peritiwa ini menimbulkan  kecurigaan pihak Jepang bahwa di Kalimantan Barat terdapat perkumpulan yang terdiri atas kaum cerdik pandai. Para cendikiawan,  raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Cina, para pejabat yang sering berkumpul membicarakan perlawanan terhadap Jepang.   Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, membuat pihak militer Jepang marah. Dan mulai melakukan operasi penangkapan ke rumah rumah tokoh mayarakat di daerah Pontianak , Mempawah, Ngabang dan sekitarnya pada Desember 1943

Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya, pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak.

Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan, suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan.  Sehingga terjadi penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944.  Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh, pihak Jepang

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat  mencantumkan angka 21.027 orang korban pembantaian jepang ini berdasarkan hasil penelitian dan sumber lisan maupun tertulis salah satunya pernyataan dari Mantan Opsir Jepang Kiyotada Takahashi, mantan opsir Syutizytio Minseibu di Pontianak yang berkunjung ke Mandor pada tahun 1977 ia menyebut memiliki catatan daftar jumlah orang yang ditangkap dan dihukum mati tentara Jepang pada tahun 1944. Keterangan Takahashi ini dikutip Almarhum Mawardi Rivai seorang Jurnalis

Angka 20.000 korban juga terdapat dalam Koran Borneo Shinbun  terbitan tanggal 1 Juli 1944 dimana pembantaian tidak hanya di daerah Mandor, tapi juga diwilayah Pontianak, Landak, Singkawang dan Sambas hanya saja korban terbanyak dikuburkan di Mandor

Sebagaimana dampak pertama yang telah dituliskan di atas, kaum cerdik pandai yang dihilangkan Jepang sepanjang tahun 1943-1944 telah membuat daerah ini kehilangan generasi orang-orang terpelajar dan berpengaruh. Dari kalangan tenaga kesehatan antara lain: dr. Roebini dan dr. R.M Agoesdjam (Kepala dan Pegawai RS Umum Pontianak), dr. Soenarjo Martowardjojo (Kepala RS Jiwa Pontianak), dr. Luhulima (RS Umum Singkawang), dr. Raden Mas Achmad Diponegoro dan dr. R. Sunarjo Martowardoyo (Kepala dan Pegawai RS Umum Putussibau). Selain tenaga kesehatan, Jepang juga membunuh beberapa tokoh yang dikenal sebagai ahli/pekerja professional seperti Raden Sukrisno dan Sawon Wongso Oetomo (Jaksa), Raden Mas Soedijono (Operator Radio), Oeray Abdul Hamid (Pengawas Sekolah), dan Lim Bak Hwat (Kepala Sekolah Tionghoa). Sebenarnya masih banyak lagi orang-orang terpelajar seperti di atas yang dibunuh Jepang, terutama dari kalangan guru, tokoh-tokoh politik seperti Notosoedjono, Panangian Harahap, J.E Pattiasina, tokoh-tokoh Tionghoa, dan pemuka masyarakat lainnya. (Soedaro, dkk, 1978: 83)

Pembunuhan kaum terpelajar ini menyebabkan Kalimantan Barat kekurangan tenaga dan ahli-ahli terampil di masa awal kemerdekaan. Sehingga perkembangan provinsi ini bisa terbilang lambat dahulunya dan selalu tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia.

Peristiwa Mandor juga menyebabkan keguncangan pada dua belas kesultanan Melayu di Kalimantan Barat sebagai dampak keduanya. Entah apa dosa para penguasa lokal seperti para Sultan dan Panembahan terhadap Jepang hingga mereka juga masuk dalam daftar orangorang yang harus dibunuh. Tuduhan Jepang akan keterlibatan mereka dalam kelompok yang akan memberontak adalah alasan yang dibuat-buat. Sultan dan Panembahan yang menjadi korban tersebut antara lain

1. Syarif Muhammad Alkadri (Sultan Pontianak)

2. Gusti Muhammad Thaufik Aqamaddin (Panembahan

Mempawah)

3. Sultan Muhammad Ibrahim Tsafioedin (Sultan Sambas)

4. Gusti Abdul Hamid (Panembahan Ngabang)

5. Gusti Saoenan (PanembahanKetapang)

6. Tengku Idris (PanembahanSukadana)

7. Gusti Mesir (PanembahanSimpang)

8. Ade Muhammad Arief(Panembahan Sanggau)

9. Gusti Djafar (PanembahanTayan)

10. Gusti Kelip (PanembahanSekadau)

11. Raden Abdulbahri Danu Perdana (Panembahan Sintang)

12. Syarif Saleh Al-Idrus(Panembahan Kubu)

Dalam praktiknya penangkapan dan pembunuhan, juga turut menangkap keluarganya. Sebagai contoh, Sultan Pontianak ditangkap bersama ketiga pangeran dan kerabatnya. Tidak kurang sekitar 30 anggota kerabat Kesultanan Pontianak turut menjadi korban.

Sumber :

  • Usman, Syafaruddin, Isnawati Din. 2009.Peristiwa Mandor Berdarah:
  • Eksekusi Massal 28 Juni 1944 olehJepang, Yogyakarta: Media
  • Pressindo.
  • Prabowo, Rikaz. 2018. Revolusi Oktober1946 di Kalimantan Barat, Pontianak:Enggang Media
  • Soedarto, dkk. 1979.SejarahKebangkitan Nasional DaerahKalimantan Barat, Jakarta:Departemen Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia.
  • Prabowo, Muhammad Rikaz. Peristiwa Mandor 28 Juni 1944. Suatu Pembunuhan Massal di Masa Pendudukan Jepang.Jurnal Bihari Pendidikan Sejarah. 2019. Surabaya.

Leave a Reply