Bang Endi Dan Cerita Panas Bedengkang di Bulan Agustus

Saya punya kawan sebut saja Bang Endi, putra asli Kalimantan Barat, yang pernah menempuh pendidikan di Pulau Jawa, tepatnya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta salah satu kampus di Pulau Jawa yang terkenal unggul di Jurusan Bahasanya.

Bang Endi dan saya punya  minat yang sama terhadap dunia jurnalistik, suka menulis dalam bentuk story telling atau seni bertutur menceritakan tentang kejadian sehari sehari yang mungkin dianggap sebahagian orang cerita biasa, tapi jika disampaikan dengan gaya bahasa yang baik dan menarik maka akan menjadi sebuah cerita menarik untuk disimak sebagai bahan pelajaran atau sumber inspirasi.

Kesamaan minat yang sama mempertemukan kami dalam kegiatan pelatihan jurnalistik bagi calon reporter dan redaktur di Tribun Pontianak pada tahun 2008 silam, sebelumnya Bang Endi sudah punya pengalaman berkarier di harian Borneo Tribun sedangkan saya sebelumnya hanya pernah mengecap jadi wartawan kampus di Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura.

Lama tak bersua , cerita singkatnya di sebuah artikel dihalaman facebooknya yang ngehits karena punya sekitar 3,200 pengikut yang lumayan untuk ukuran kota Pontianak, karena angka 3000 orang  itu untuk ukuran calon legislatif di Kota Pontianak sudah cukup mengantarkan seseorang duduk kursi empuk DPRD Kota Pontianak jika minimal memiliki 3000 suara pemilih di kertas suaranya pada pemilu legislatif tahun 2019 silam, menarik saya untuk menyimak dan menuliskan kembali ceritanya dalam bentuk story telling.

Dalam halaman facebooknya Bang Endi membuat suatu story telling karya  Hanz E Pramana yang saya kutip dengan izin beliau dengan cerita sebagaimana berikut :

POHON PENEDUH DI JALANAN KOTA — Memasuki Agustus, panas bedengkang sungguh memanggang Kota Pontianak, metropolitannya Provinsi Kalimantan Barat. Kata “bedengkang” tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ia adalah dialek lokal untuk memberi kesan menyangatkan dalam situasi cuaca panas. Sinonimnya barangkali “panas terik”.

Di sebagian ruas jalan di Kota Pontianak, baik jalan protokol maupun jalan kecil, keberadaan pohon peneduh di pinggirnya semakin banyak. Rindangnya dedaunan yang hijau itu terasa memberi kesan teduh. Meski di bulan-bulan ini, kesan panas bedengkang belum lagi lekang.

Banyaknya pohon peneduh ini sempat membuat kagum sahabat saya dari Negeri Jiran. Beberapa tahun lalu, saya menemani dia menyusuri sudut-sudut kota. Dia menyatakan kekagumannya menemukan kembali Kota Khatulistiwa, yang dalam sebutan dia: lebih hijau, lebih teduh. Sampai-sampai kontainer sampah di pinggir jalan yang dicat warna-warni pun sungguh menarik perhatiannya. Kesan itu pun dia tulis di surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di negerinya.

Saya tentu bangga, karena kota saya mendapat apresiasi. Barangkali memang perlu sudut pandang orang luar, untuk menemukan kesan-kesan seperti ini. Kita yang sehari-hari bergumul dengan macet, ketergesaan, serta panas bedengkang, kerap lupa ada good vibe yang terbentang di depan mata.

Pagi ini, Pontianak terasa hangat meski jarum jam belum sampai di angka 07.00 WIB. Para pelintas menggesa waktu menuju tempat kerja atau mengantar anak sekolah. Sinar matahari pagi menerobos ranting dan daun pohon peneduh, dan sebagian kecil bayangannya mulai menaungi badan jalan.

Grrr, memang susah ya untuk mengungkapkan sesuatu yang wow dari rutinitas yang saban hari berlalu terlalu mekanistis! Tiap hari begini, dan saking terbiasanya sampai-sampai kesulitan menemukan hal-hal menakjubkan yang tersembunyi di balik rutinitas.

Dalam cerita diatas Bang Endi menceritakan tentang kondisi jalan dan cuaca di sudut kota Pontianak yang walaupun dalam kondisi panas terik atau panas bedengkang tapi menjadi suatu cerita singkat yang menarik tentang kondisi alam di Kota Pontianak di Bulan Agustus, cerita sederhana yang menarik bukan

Sumber;

Dikutip dari halaman facebook Hanz E Pramana 6 Agustus 2024 dan story telling karya Rahmat Guna Wijaya

Leave a Reply